You Had Me at "Hello" bercerita dari sudut pandang Inanna Grace, seorang perempuan 23 tahun yang masih berkuliah.
Pada chapter-chapter awal, Ina, sapaan Inanna, dan Zora kembarannya mendapat tekanan dari ayah mereka untuk menerima perjodohan yang dibuat dengan anak teman sang ayah. Hal itu dikarenakan ayah mereka tidak percaya lagi terhadap semua keputusan yang Ina dan Zora ambil. Sudah berusia 23 tahun tetapi masih belum lulus kuliah, menghamburkan limit kartu kredit, berkelahi di klub, dan sederet masalah lainnya. Ayahnya kemudian mengambil kesimpulan bahwa dia tidak akan mempercayai laki-laki pilihan anak kembarnya itu.
Dari chapter awal saya sudah tidak menyukai tokoh utama, Ina.
Mantan Ina di kampus (yang sudah putus sekitar satu tahun yang lalu) masih mengejar dia. Oke, mungkin memang agak menyebalkan kalau masih memiliki mantan yang suka stalking dan baper. Tapi masalahnya ada pada alasan ketidaksukaan Ina kepada mantannya ini.
Jika ditanya lagi, dia sama sekali tidak tahu kenapa dulu tertarik dan nekat menjalin asmara dengan cowok itu. Hingga Ina mengabaikan usia Norman yang lebih muda atau warna kulitnya yang cenderung gelap.
Um, jadi si Ina ini melihat orang lain dari fisiknya? Sori, di awal aja sudah minus satu poin.
Ina kemudian dijodohkan dengan Martin, seorang dokter muda yang sedang menempuh pendidikan spesialis dokter anak. Martin, yang menurut Ina, tidak sesuai dengan dirinya karena postur tubuhnya yang hanya sedikit lebih tinggi dari Ina dan berkulit coklat. Pada pertemuan pertama, Ina langsung menolak perjodohan itu karena alasan di atas. Childish? Minus poin kedua.
Okay, pada pertemuan-pertemuan selanjutnya Ina semakin tidak menyukai Martin karena semakin terlihat hobi Martin yang suka jelalatan melihat cewek-cewek lain. Untuk ini saya setuju sama Ina.
Suatu waktu, mobil Ina menabrak mobil cowok ganteng bermata biru dan akibatnya cowok tersebut harus menerima beberapa jahitan di rumah sakit. Ina yang merasa bersalah, meminta maaf kepada korban dan orang tua korban. Dan ternyata bukannya mendapat teguran, orang tua si korban malah meminta Ina menikahi anak mereka, laki-laki yang Ina tabrak itu. Plus, cowok ini mempunyai kanker otak dan umurnya tidak akan bertahan lama lagi. Disuruh nikah sama cowok ganteng, tajir, umurnya tinggal sebentar, ini durian runtuh atau gimana, sik?
Singkat cerita, Ina bersedia menikahi anak mereka hanya karena Ina mau lari dari perjodohan dengan Martin, poin lain yang seharusnya bisa dihindari Ina bila dia mau jujur dengan ayahnya.
Dalam sudut pandang Ina, dia selalu berfikir kalau ayahnya sangat sayang dengannya dan Zora. Bila memang Martin playboy, seharusnya Ina bisa jujur kepada ayahnya, toh tidak ada ayah yang ingin anak perempuannya menikah dengan laki-laki brengsek, bukan?
Poin lain yang membuat saya mengernyitkan dahi adalah salah satu isi dari perjanjian pra-nikah mereka yaitu tidak boleh ada perceraian sampai maut memisahkan. Bila itu terjadi maka pihak yang dirugikan adalah Ina baik dari segi material maupun hak asuh anak bila mereka sudah memiliki buah hati. Oke, saya adalah penganut perkawinan monogami dan say no to perceraian. Mungkin bila dibaca klausa tersebut rasanya memang manis dan romantis, tapi untuk kasus Ina, menurut saya dia seperti orang yang bodoh sampai mau menandatangani hal ini. Ina dan Al adalah dua orang asing, mereka tidak memiliki perasaan apa-apa satu sama lain. Bagaimana Ina yakin kalau Al tidak akan menyakiti dia? Amit-amit katakanlah Al KDRT atau punya wanita idaman lain di luar sana? Untungnya ini tidak terjadi. :D
Ina kemudian menjalani hari-hari setelah pernikahannya dengan Al. Alur ceritanya mirip dengan novel-novel lain yang mengangkat tema pernikahan karena perjodohan. Menikah, canggung, tertarik dengan satu sama lain, jatuh cinta dan bertengkar layaknya suami istri. Sayangnya, cara Ina menghadapi pertengkaran mereka saya rasa kurang tepat. Bertengkar dan pulang ke rumah ayahnya? Dan saya juga kecewa dengan cara Ina dan Al berbaikan.
Review di bawah ini merupakan spoiler:
Akhirnya mereka berbaikan setelah Al tahu bahwa Ina hamil. Ini mengingatkan saya dengan Critical Eleven karya Ika Natassa. Novel Ika Natassa tersebut juga menghadirkan kehamilan sebagai solusi pertengkaran kedua tokohnya. Ini menjadi pertanyaan apakah semua masalah pernikahan hanya dapat diselesaikan jika sang istri hamil? Bagaimana bila tidak ada kehamilan saat itu? Tetap akan menempuh jalur perceraian? Jujur saya kecewa setelah membaca Ina pusing dan muntah. Plotnya sangat terbaca dengan mudah bahwa hanya dengan kehamilan maka semua masalah mereka akan selesai.
Saya kecewa dengan buku ini baik dari segi cerita dan penulisannya. Ceritanya yang klise dan klimaksnya yang agak dipaksa.
Saya juga bukan penikmat gaya penulisan seperti ini yang bertele-tele, terkadang penulisnya menggambarkan sesuatu yang tidak penting untuk pembaca ketahui. Dan saya kurang nyaman untuk membaca kritikan mengenai warna kulit seseorang. Ya, kita mungkin memiliki preferensi sendiri-sendiri, tetapi alangkah baiknya tidak menghakimi seseorang dari warna kulit dan lainnya karena itu bisa dikategorikan sebagai SARA. :)
Rating: 2/5 stars
Originally posted on my Goodreads page, October 28, 2016
No comments:
Post a Comment